Ketika Pemerintahan Kolonial Belanda kembali berkuasa pasukan-pasukan bersenjata yang sudah lemah tersebut makin dikurangi sehingga tidak mempunyai arti secara militer. Menurut catatan yang ada, semasa pemerintahan Hamengkubuwono VII sampai dengan masa pemerintahan Hamengkubuwono VIII yaitu antara tahun 1877 sampai dengan 1939 ada 13 kesatuan prajurit kraton yang meliputi: Kesatuan Sumoatmojo, Ketanggung, Patangpuluh, Wirobrojo, Jogokaryo, Nyutro, Dhaeng, Jager, Prawirotomo, Mantrijero, Langenastro, Surokarso dan Bugis.
Kesatuan SUMOATMOJO
Merupakan pasukan pengawal pribadi sultan yang langsung berada dibawah komando sultan. Pasukan ini terdiri dari 2 orang perwira berpangkat panji, 2 orang bintara berpangkat sersan dan 16 orang prajurit. berseragam baju zirah dengan perisai lempengan baja berbentuk bulan sabit berukuran besar, berikat pinggang besar dan kuat terbuat dari kulit kerbau, memakai tutup kepala yang disebut udheng gilig dan tidak memakai alas kaki. Senjata yang digunakan adalah pedang lengkung terhunus dengan perisai bulat. Prajurit Sumoatmojo tidak mempunyai duaja atau bendera, seluruh tubuhnya dan wajahnya dibedaki dengan boreh berwarna kuning. Jika melaksanakan tugas mengawal sultan, di sepanjang jalan memperagakan tarian perang atau tayungan.
Kesatuan KETANGGUNG
Terdiri atas 4 perwira berpangkat panji, 8 bintara berpangkat sersan, 72 prajurit dan 1 prajurit pembawa duaja. Berseragam jas terbuka, baju dalam putih, mengenakan ikat kepala hitam, topi segi tiga, bersepatu lars panjang. Senjata yang digunakan adalah bedil dengan bayonet terhunus dan keris dipinggang.
Nama bendera: COKRO SEWANDONO, Dasar hitam, tengah bergambar bintang warna putih. Nama musik: Mares BERGOLO MILIR untuk berjalan pelan dan digayakan, Mares LINTRIK EMAS untuk berjalan cepat